Minggu, 07 Desember 2008

“RINGELMANN EFFECT” DAN PEMBINAAN TIM

“RINGELMANN EFFECT” DAN PEMBINAAN TIM

§ Ringelmann Effect

Silva III dan Weinberg (1984) mengemukakan hasil penelitian psikolog Jerman yang terkenal, yaitu Ringelmann yang kemudian diteliti kembali oleh Ingham, dkk. Dalam studinya Ringelmann meneliti kemampuan menarik tambang individu–individu dalam, menarik 8 kali kemampuan individu, tetapi hanya 4 kali kemampuan individu. Lebih terinci lagi, kelompok yang terdiri dari 2 orang kemampuannya 93% rata-rata kemampuan individu, kelompok yang terdiri dari 3 orang kemampuannya 83% rata-rata kemampuan individu, kelompok 8 orang 49% kemampuan rata-rata individu.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Ringelmann tersebut terbukti bahwa terjadi penurunan penampilan rata-rata individu apabila terjadi peningkatan jumlah anggota kelompok, dan ini dikenal sebagai “Ringelmann Effect”. Menurut Latane dkk, gejala tersebut terjadi karena hilangnya motivasi dan berbaurnya rasa tanggung jawab.

Penampilan dan prestasi atlit berkaitan dengan motivasi atlit, khususnya motivasi untuk berprestasi dan motivasi ketergabungan anggota dalam ikatan tim. Dalam kelompok ikatan atau tim tidak harus individu kehilangan atau menurunkan prestasinya, ataupun melemah rasa tanggung jawabnya. Peningkatan atau merosotnya prestasi atlit dalam ikatan tim dipengaruhi oleh banyak faktor, yang dapat dikelompokkan dalam faktor-faktor internal yang datang dari dalam diri subyek dan faktor-faktor eksternal yang timbul dari dalam proses interaksi atlit dengan orang lain disekitarnya. Faktor internal misalnya “competitif trait anxiety/CTA” atau rasa cemas menghadapi pertandingan. Pada atlit yang mempunyai CTA tinggi berarti mudah cemas menghadapi pertandingan, ketergabungannya dalam ikatan tim akan dapat mengurangi rasa cemas, sehingga ia akan dapat bermain dengan lebih baik daripada bermain secara individu atau sendiri. Hal ini juga erat hubungannya dengan situasi interaksi dalam tim tersebut, misalnya atlit tersebut dituntut untuk berprestasi yang dirasakan melebihi dari kemampuannya, bisa saja akan timbul hambatan untuk dapat berprestasi dengan baik.

Dari uraian dan beberapa contoh sebelumnya jelaslah bahwa dampak Ringelmann atau “Ringelmann Effect” sebagaimana digambarkan dalam hasil penelitian Ringelmann dan Ingham, tidak selalu relevan untuk menganalisis gejala merosotnya prestasi kelompok atau tim dalam olahraga. Tugas-tugas dan tantangan yang dihadapi suatu tim kemungkinan dihadapi anggota-anggota tim dengan menurunnya rasa tanggung jawab, kurang gairah karena kemampuan individual kurang menonjol, menimbulkan kecemasan karena takut akan kalah dan sebaganya. Tetapi sebaliknya dapat juga menimbulkan rasa kebersamaan untuk membela nama baik tim, lebih meningkatkan motivasi untuk berprestasi karena tiap-tiap anggota tim tidak ingin menjadi penyebab kurang berhasilnya penampilan tim.

§ Pembinaan Tim

Pembinaan tim bertujuan untuk mencapai puncak penampilan dan prestasi yang setinggi-tingginya, dengan tetap menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak-dampak yang bersifat negatif, baik terjadi dalam ikatan tim maupun lain tim.

Oleh tim peneliti dikemukakan bahwa orang-orang yang bekerja dalam kelompok, lambat laun akan lebih sadar dan lebih mudah mengerti akan kebutuhan-kebutuhan anggota kelompok masing-masing dalam peranannya (fungsinya) pada kelompok itu, dan akan memahami kebutuhan rekan-rekan dan dirinya sendiri dalam timbal balik hubungan anggota kelompok. Saling pengertian dan saling merasa perlu mengetahui keperluan-keperluan anggota lainnya itu menjadi syarat penting pula agar terdapat kerjasama yang produktif antara anggota kelompok itu. Jadi anggota kelompok harus belajar mengerti dan merasakan keperluan-keperluan kawan anggotanya, apabila anggota kelompok itu ingin bekerjasama secara efektif. Hal itu dapat dipelajari apabila benar-benar memperhatikan proses interaksi yang berlangsung antar anggota kelompok, dan juga memperhatikan keinginan-keinginan dirinya sendiri dalam proses interaksi tersebut.

Upaya pembinaan tim dimulai dengan upaya menumbuhkan rasa kesatuan sebagai anggota tim sehingga terbentuk “team cohesion” sebaik-baiknya. Menurut Tutko dan Richard (1971) dalam hubungan ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut

Ø Saling menghormati baik antara pemain maupun dengan pelatih.

Ø Menciptakan komunikasi yang efektif; setiap anggota tim harus menunjukkan kesediaan dalam berkomunikasi dengan penuh pengertian antara satu sama lain.

Ø Tujuan bersama; harus ada keyakinan, kesediaan menerima satu tujuan untuk dicapai bersama.

Ø Perasaan menjadi “anggota penting”; sebagai anggota tim, perasaanya harus diperhatikan, mendapat pengakuan atas pengorbanan yang diberikan, dan dibantu oleh anggota lain serta pelatih.

Ø Perlakuan yang adil; setiap pemain merasa membutuhkan perlakuan yang sama untuk mendapatkan kesempatan dalam mengembangkan bakat secara maksimal.

Hasil utama dari suatu “teamwork” yang baik adalah terciptanya kerjasama antara anggota tim yang sebaik-baiknya, suasana kekeluargaan dan hubungan erat antara anggota, dan setiap anggota tim meletakkan kebahagiaan tim di atas kepentingan sendiri.

Richrad H. Cox (1985) mengemukakan hasil penelitian Martens dan Peterson mengenai hubungan antara rasa kesatuan sebagai anggota tim atau “team cohesion” sukses dalam penampilan dan kepuasan. Hasil penelitian Martens dan Peterson terhadap tim basket pada tahun 1971 menunjukkan adanya korelasi positif antara team cohesion dan kepuasan anggota. Lebih lanjut diajukan model pemikiran hipotekik yang menggambarkan bahwa team kohesion dapat mendorong sukses dalam penampilan, dan sukses dalam penampilan akan menimbulkan kepuasan, lebih lanjut kepuasan akan lebih memperkuat team cohesion.

Pada tahun 1982 Williams dan Hacker meneliti pemain-pemain hockey putri, dan berkesimpulan bahwa sukses dalam penampilan dan team cohesion akan mendorong timbulnya kepuasan yang lebih besar, tetapi kepuasan tidak mendorong apapun.

Model Model

Martens/Peterson Williams/Hackers

“Team cohesion” Sukses dalam penampilan

Kepuasan Sukses dalam Kepuasan Team cohesion

penampilan

Gambar: Hubungan antara “team cohesion”, sukses dalam penampilan,dan kepuasan (Richard M. Cox, 1985)

Pada gambar yang dibuat oleh Richard H. Cox (1985) seperti dibawah ini, terlihat perbedaan model pemikiran hipoeikik Martens dan Peterson dibandingkan dengan pemikiran hipotekik Williams dan Hacker. Menurut Williams dan Hackers sukses dalam penampilan akan mendorong timbulnya kepuasan dan timbulnya “team cohesion”. Disamping itu, “team cohesion” juga mendorong timbulnya kepuasan, tetapi kepuasan tidak akan mendorong apapun. Perkembangan suatu tim akan ditentukan atau dipengaruhi individu-individu yang dominan dalam tim tersebut, oleh karena itu peranan pelatih sangat penting lebih mengarahkannya.

Tutko dan Richard (1971) menekankan arti pentingnya pembentukan citra atau “image building”, karena seseorang akan bereaksi atas dasar pandangannya tentang diri sendiri dan orang lain. Sebagai anggota tim mereka cenderung bertindak sesuai keyakinan mereka tentang diri mereka; misalnya kurang percaya diri sikap-sikap agresif dan sebagainya merupakan reaksi yang didasarkan atas perasaan mereka tentang diri mereka sendiri. Tutko dan Richard juga menekankan arti pentingnya menciptakan citra yang positif atau “positif image” tentang timnya, dan menghindarkan citra negatif atau “negative image” yang hanya akan merugikan perkembangan sikap anggota tim tersebut.

Mengenal pembentukan citra positif suatu tim dapat dilakukan dengan mengembangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Menggambarkan tim tersebut sebagai tim pemenang lebih menguntungkan daripada menggambarkan sebagai tim yang sering mengalami kekalahan.

2. Citra positif sebagian besar berkembang dalam suatu tim dengan disiplin yang baik, sedangkan citra negatif biasanya terdapat dalam tim yang kurang disiplin.

3. Ketegasan seorang pelatih; nilai-nilai etik seorang pelatih adalah sangat penting. Untuk menciptakan citra positif seorang pelatih harus bertindak tegas terhadap pelanggaran peraturan yang disepakati bersama.

4. Sub-kultur dalam tim; setiap tim memiliki budayanya sendiri dan mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya kelompok /tim akan terasing atau diminta untuk meninggalkan tim.

Rasa keterikatan sebagai anggota tim merupakan hal sangat penting dalam pembinaan tim, oleh karena itu banyak dibicarakan oleh para ahli psikologi olahraga. Dalam rangaka mengembangkan rasa kesatuan dalam ikatan tim, Richard H. Cox (1985) juga mengajukan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Dengan penuh tanggung jawab setiap pemain memahami atau mengenal tugas dan tanggung jawab pemain lain.

2. Pelatih lebih mengenal kehidupan pribadi pemain dalam tim

3. Mengembangkan rasa bangga dalam menyelesaikan tugas-tugas untuk kepentingan tim.

4. Mengembangkan rasa “memiliki”, setiap pemain merasa tim dimana ia tergabung sebagai timnya.

5. Menentukan bersama tujuan yang akan dicapai dan menumbuhkan rasa bangga untuk dapat mencapainya.

6. Setiap pemain mempelajari perannya dan yakin bahwa perannya tersebut penting.

7. Jangan menuntut atau mengharap ketenangan kelompok secara mutlak, tanpa adanya gesekan antara pemain akan berkurang pula minat untuk mencapai tujuan kelompok.

8. Apabila ada tanda-tanda kelompok kecil menunjukkan komposisi terhadap pencapaian tujuan tim, maka keberadaan kelompok kecil tersebut harus dihindarkan.

9. Dengan metode dril (“team drill”) dikembangkan kerjasama antar anggota tim.

10. memberikan gambaran tentang kesuksesan tim, meskipun tim tersebut sedang mengalami kekalahan. Ini penting untuk menimbulkan kesatuan dan kepuasan bahwa permainan anggota tim juga ada yang baik.

Berbagai cara untuk menopang terbentuknnya rasa kesatuan team dapat dilakukan antara lain dengan membuat slogan, tanda-tanda (emblem), uniform yang disepakati bersama.

Dari segi kepelatihan, berbagai cara dapat dilakukan, namun yang penting setiap pelatih harus menyadari sepenuhnnya tujuan atau sasaran yang ingin yang dicapai, yaitu meningkatnnya rasa tanggung jawab, rasa memiliki dan rasa ketergabungan sebagai anggota team, disiplin, kepercayaan pada diri sendiri, kesediaan berkorban untuk kepentingan tim, kebanggaan sebagai anggota tim, motifasi untuk mencaoai prestasi tim yang setinggi-tingginnya.

§ Motif Berprestasi dalam Ikatan Tim

Motivasi adalah tenaga pendorong yang mendasari penampilan atlit maupun tim. Dalam pencapaian suatu hasil yang baik, faktor yang sangat berperan adalah motivasi. “Motivation appears to be the key to accomplishment, whether it be in sport, in teaching, research, or some other callenging pursuit (Straub, 1978)”. Istilah motivasi ini sering disamakan penggunaannya dengan motif yang di artikan sebagai faktor internal yang mengarahkan tingkah laku. Pengertian motivasi bersifat, umum sedangkan motif yang diartikan sebagai faktor internal yang mengarahkan tingkah laku. Pengertian motivasi bersifat umum sedangkan motif bersifat spesifik. Motif didorong oleh suatu kebutuhan internal dan keinginan memenuhinya.

Dalam suatu penelitian mengenai kebutuhan-kebutuhan mendasar pada atlit maupun tim, terungkap kebutuhan utamanya adalah kebutuhan untuk berprestasi (need of achiavement) dan untuk melakukan kegiatan fisik (Vaneek dan Cratty, 1970). Kebutuhan tersebut mengarahkan tingkah laku dengan titik berat pada tercapainya prestasi di bidang olahraga tertentu. Atlit maupun tim dengan motif berprestasi tinggi akan terangsang untuk mencapai prestasi lebih baik, bila dihadapkan dengan suatu situasi yang membangkitkan motif tersebut yaitu situasi kompetitif seperti di pertandingan.

Dengan berperannya motif ini, usaha untuk mencapai tujuan akan lebih terarah dan teratur. Sebaliknya, akibat usaha dan motif nerprestasi kurang berperan, semangat juangnya akan kurang terangsang oleh situasi kompetitif.

Tanpa memiliki motif berprestasi yang kuat dari anggota-anggotanya, maka suatu tim tidak mungkin mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Motif berprestasi adalah motif atau dorongan untuk berpacu dengan keunggulan, baik keunggulan diri sendiri maupu keunggulan orang lain, oleh karena itu dengan memiliki motif berprestasi yang kuat seorang atlit akan selalu berusaha lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya sendiri, dan juga selalu berpacu dengan prestasi orang lain.

§ Metode Sosiometri

Metode ini yang ditemukan oleh J.L. Moreno, merupakan metode baru di dalam kalangan ilmu sosial dan bermaksud untuk meneliti “intra-group-relations” atau saling hubungan antara anggota kelompok di dalam suatu kelompok.

Dengan penelitian sosiemetri dapat ditunjukkan adanya “formal group” dan “ informal group”, atau adanya kemungkinan adanya sub-kelompok dalam suatu kelompok atau tim. Hal ini dimungkinkan karena dengan penelitian sosiometri digambarkan adanya hubungan antara anggota kelompok.

Menurut Moreno (1951) sosiometri berkembang kearah tiga pola riset, yaitu:

1. “diagnostic sociometry”, dikembangkan oleh Lunberg dan Bogardus, dimaksudkan untuk membuat diagnosa mengenai saling hubungan yang terjadi dalam kelompok

2. “dynamics sociometry” diselidiki secara mendalam oleh Moreno dan Jennings, dimaksudkan untuk menyelidiki dinamika atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam saling hubungan dan struktur kelompok

3. “mathematical sociometry”, dikembangkan oleh Lazarfeld dan stewart, terutama dimaksudkan untuk meneliti kekuatan-kekuatan (forces) yang berkembang dalam suatu kelompok.

Untuk memperoleh keterangan mengenai saling hubungan antar anggota sekelompok itu, maka diajukan sebuah daftar pertanyaan kepada semua anggota-anggota kelompok yang ingin diselidiki, misalnya sebuah kelas di sekolah. Daftar pertanyaan itu merupakan ajakan untuk menentukan sikap anggota kelompok terhadap anggota kelompok lainnya yang ia kenal. Ia misalnya diajak untuk memilih antara kawannya sekelompok kelas, siapa yang menurut pendapatnya paling memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kawan yang paling cakap sebagai pemimpin kelompok, atau kawan yang paling cocok sebagai pemimpin kelompok, atau kawan yang paling cocok sebagai kawan sekerja, dan lain-lain tergantung kepada sifat-sifat saling hubungan yang ingin kita selidiki dengan metode ini.

Khususnya dalam olahraga, dengan mengetahui hubungan sosial yang terjadi dalam kelompok yang dibina, seorang pelatih lebih dapat meningkatkan saling hubungan dengan lebih positif, mengatasi kemungkinan terjadinja perpecahan atau hubungan disharmonis yang dapat merugikan perkembangan kelompok atau tim yang dihina. Dengan mengetahui hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalam tim, seorang pelatih dapat memberikan bimbingan yang lebih terarah dan tepat dalam menghadapi berbagai masalah; antara lain dalam kelompok ini dapat memanfaatkan tokoh kunci yang ada dalam kelompok.

§ Kegunaan Metode Sosiometri

Dalam rangka pembinaan tim maka metode sosiometri banyak sekali manfaatnya. Motivasi, sikap, dan tingkah laku kelompok sebagian besar dipengaruhi oleh individu-individu yang dominan dalam kelompok; melalui penelitian sosiometri dapat diketahui adanya tokoh kunci atau “key-person” yang biasanya memiliki kelebihan dan dominan dalam kelompok atau sub-kelompok dimana ia tergabung.

Di samping kegunaan untuk manjaga keutuhan tim, maka dengan metode sosiometri juga dapat diketahui siapa di antara anggota tim yang kurang disenangi anggota tim lainnya. Hal ini juga perlu mendapat perhatian agar anggota tersebut tidak terisolasi dari lingkungan kehidupan kelompok.

Dengan selalu memperhatikan tata-hubungan sosial yang terjadi dalam tim, maka keharmonisan tim dapat selalu dipelihara dan kemungkinan terjadinya hubungan yang kurang harmonis dapat segera ditanggulangi. Hal ini penting sekali dalam upaya membina tim, karena kuat atau lemahnya tim tidak hanya tergantung pada kemampuan satu atau dua orang saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan gabungan dari seluruh anggota tim.

Kuatnya rasa kesatuan tim atau “sentiment ingroup” akan besar sekali dampaknya pada motivasi dan sikap positif anggota untuk membela dan menjunjung tinggi timnya atau groupnya. Dengan kuatnya rasa kesatuan tim akan timbul rasa memiliki dan rasa tanggumg jawab pada kelompok (belongingness and responsibility).

§ Pertimbangan Khusus dalam Persiapan Tim

Ada sejumlah faktor khusus yang harus dipertimbangkan pelatih dalam menyiapkan timnya untuk menghadapi pertandingan. Perhatian pada faktor-faktor tersebut dapat membuat perbedaan antara kalah dan menangnya suatu pertandingan olahraga. Persiapan adalah salah satu strategi yanglebih efektif untuk menghindarkan olahragawan dari stres. Hal ini sangat penting mengetahui lebih dahulu peristiwa-peristiwa yang mengandung masalah penting untuk mempersiapkan keterampilan.

Ø Petandingan sebelum musim pertandingan

Kegiatan ini dirancang untuk menyiapkan tim dengan membentuk rasa percaya diri pada kemampuan tim, strategi dan pelaksanaannya. Seringkali, latihan sebelum masa bertanding tidak berlangsung dengan mulus. Pelaksanaanya mungkin berantakan, strategi mungkin tidak berhasil dengan baik, olahragawan (dan pelatih) mungkin mulai berpikir ulang. Tanggapan ini harus di antisipasi. Menjelang latihan olahragawan harus di ingatkan untuk berkonsentrasi dan melakukan yang terbaik, namun harus sadar bahwa hal ini barulah awal dari masa bertanding.

Ø Memandang rendah dan menilai terlalu tinggi

Pandangan merendahkan dapat menbawa pada penampilan tim yang tidak efektif karena kekurangsiapan. Sedangkan penilaian yang terlalu tinggi menyebabkan penampilan buruk kkarena pelatih kehilangan rasa percaya diri dan memutuskan mengubah strategi yang telah dijalankan timnya dengan baik. Strategi baru mungkin dirancang debgan cermat namun tidak efektif sebab pelaksanannya buruk. Banyak pelatih seperti menampar dirinya sendiri pada saat mereka membuat perubahan khusus di menit-menit terakhir untuk lawan tertentu.

Gerungan, A. 1980. Psychologi Sosial. Jakarta: P.T. Eresco.

Gunarsa, Singgih, dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK-GM.

Pate, Russel, dkk. 1964. Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Sears, David O, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Setyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Copyright.

Walgito, Bimo. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Disiplin dan Penguasaan Diri

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam hal berolahraga kita mengamati lebih mendalam penampilan-penampilan para atlet, dalm makalah ini atlet sebenarnnya meliputi berbagai aspek yaitu dari berbagai bentuk, perkembangan disiplin bagi atlet, menanamkan disiplin, bersikap obyektif mengenali diri sendiri, dan juga mengenali diri sendiri. Dari bentuk-bentuk disiplin dan pengendalian diri ini kita sebagai atlet bisa memahami lebih mendalamnnya.

1.2 Tujuan

Sebagai mahasiswa olahraga, kita harus mengetahui betapa pentingnya pengendalian diri bagi diri kita. Sebab pengendalian diri atau disiplin yang tertanam dihati para atlet bisa suatu dorongan semangatnnya kita melakukan latihan disaat stres yang kita alami diluar yang bisa menenangkan hati dan pikiran agar berkonsentrasi melakukan latihan.

BAB II

PEMBAHASAN

DISIPLIN DAN PENGENDALIAN DIRI

Kehidupan social adalah kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai. Disiplin seseorang terlihat dari kesediaan untuk mereaksi dan bertindak terhadap nilai-nilai yang berlaku, yaitu nilai-nilai yang tertuang atau yang terwujud dalam bentuk ketentuan, tata-tertib, aturan, tatanan hidup atau kaidah-kaidah tertentu.

Kesediaan mereaksi dan bertindak terhadap obyek tertentu adalah sikap kejiwaan. Atau “attitude”, yang sementara orang menyebut sebagai sikap mental. Menurut Fren N. Kerlinger (1975) sikap kejiwaan selalu dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak, bertindak positif atau negative, dalam hubungannya dengan obyek tertentu.

Menurut Tutko dan Richards (1975) menegaskan bahwa disiplin :

ü mengutamakan dan mengatur kondisi fisik

ü pengembangan penguasaan emosi

ü menciptakan citra sebagai olahragawan yang sebenarnnya.

2.1 Perkembangan Disiplin

Perkembangan disiplin yang mengandung kepatuhan atau ketaatan pada nilai-nilai, terutama sekali dimulai sejak masa kanak-kanak, peranan pada orang tua dan linkungan pergaulan masa kecil sangat besar pengaruhnnya pada perkembangan disiplin anak selanjutnnya.

Sesuai teori belajar maka pengaruh pendidikan akan besar terhadap perkembangan sikap dan tingkah laku manusia. Tiga masalah utama dari jenjang yang dianggap paling penting adalah:

ü tidak adannya disiplin

ü penggunaan obat terlarang dan

ü kurikulum yang kurang baik

Dalam olahraga atlet selalu menghadapi pilihan antara melakukan ketentuan sesuai program latihan yang ditetapkan atau mangkir dari latihan, antara patuh pada peraturan dan bertindak sportif dengan melanggar peraturan asal dapat memenangkan pertandingan, dsb-nya.

Dalam bannyak hal bertentangan batin antara mengutamakan kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum, merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Motivasi untuk mendapat kepuasan individu apabila tidak diimbangi dengan motivasi social yang positif dan kuat, dapat menjurus kearah tindakan yang tidak patuh pada nilai-nilai atau tindakan yang melanggar disiplin.

2.1.1 Disiplin Semu dan “ self-discipline “

Disiplin semu adalah disiplin yang tanpak dipemukaan saja, kepatuhan yang dilandasi disiplin semu tidak dapat bertahan lama, karena disiplin semu terjadi hanya pada saat pengawasan, disertai rasa takut pada sangsi dan ancaman pelatih tanpa ada kesadaran.

Disiplin sering diartikan dalam kaitanya dengan ancaman dan hukuman, dari sisi lain disiplin juga erat kaitannya dengan pengawasan atau control dan proses belajar.

Prinsip mengontrol diri sendiri merupakan hal yang terpenting dalam disiplin, atlet yang menunjukan kebiasaan selalu menepati ketentuan, peraturan, dan nilai-nilai, berarti dapat mengontrol diri-sendiri untuk tidak melanggar ketentuan dan peraturan ataupun nilai-nilai yang berlaku.

Disiplin ada hubungannya dengan sikap penuh rasa tanggung jawab, karena atlet yang berdisiplin cenderung untuk menepati, mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya. Sikap untuk mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya, atlet akan berusaha untuk tidak mengingkari dan sedapat-dapatnnya mematuhi.

Sehubungan dengan itu maka atlet yang disiplin akan setia untuk menepati kebiasaan hidup sehat, mematuhi petunjuk-petunjuk pelatihnya, setia untuk melakukan program-program latihan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginnya.

Atlet yang memiliki disiplin diri sendiri sudah memiliki kesadaran untuk berlatih sendiri, meningkatkan keterampilan, dan menjaga kondisi fisik dan kesegaran jasmaninnya, dan dapat menguasai diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan atau yang dapat merugikan diri sendiri dan lebih lanjut selalu akan berusaha untuk hidup dan berusaha berbuat sebaik-baiknnya sesuai dengan citrannya sebagai atlet yang ideal.

Disiplin yang disertai pemahaman dan kesadaran erat hubungannya dengan sikap penuh tanggung jawab dan individu yang bersangkutan cenderung berusaha menepati, mendukung, dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya.rasa tanggung jawab yang dipatuhi, tidak mengingkari, dan harapan akan kelangsungan nilai-nilai akang berkembang menjadi sikap hidupnnya sehari-hari.

2.1.2 Peranan pelatih

Hubungan guru dengan murid merupakan hal yang sangat penting dan sumber terbentuknnya disiplin yang baik dan yang buruk. Disiplin yang kaku, dalam bentuk apapun akan dapat menghasilkan ketidak puasan, bahkan dapat menimbulkan pemberontakan terhadap pemegang kekuasaan.

Menurut Tutko dan Richards (1975) yang cukup menarik mengenai sikap pelatih, bagaimana seorang pelatih menghadapi atlet yang ragu-ragu menjadi anggota team. Sebagai pelatih harus memiliki sikap tegas untuk dapat membawakan pengaruhnnya sehingga atlet bersikap dewasa, menerima peraturan dengan penuh kesadaran.pelatih harus mempunyai konsepsi yang mantap, menguasai prinsip-prinsip pokok untuk menumbuhkan disiplin, harus dapat mengarahkan kearah tindakan-tindakan yang positif-kontruktif memberi bimbingan apabila diperlukan, dan mengawasi kemungkinan terjadinnya pelanggaran terhadap peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

2.2 Menanamkan disiplin

Penanaman disiplin harus dilakukan terus-menerus, karena disiplin seperti halnnya sikap menusia lainya, selalu dapat berubah dan dapat dipengaruhi. Dalam upaya pembinaan atlet kerja sama antara pelatih dengan orang tua atlet sangat perlu.

Cara-cara otoriter dengan paksaan atau hukuman, James Dobson (1986) mengukakan bahwa aktivitas penuh disiplin harus dilakukan dalam suatu kerangka kerja penuh cinta-kasih dengan memahami perasaan subyek, rasa hormat dan tanggung jawab subyek merupakan hasil cinta-kasih dan disiplin.

2.2.1 Penguasaan diri

Penanaman disiplin harus dilandasi pengertian pokok mengenai disiplin, yang intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran, serta tanggung jawab.

Menurut Robert S Ellis (1956) membedakan perkembangan disiplin yang ditanamkan dengan pengawasan yang ketat, paksaan dan hukuman yang sewajarnya, Menanamkan disiplin tidak harus dengan tindakan otoriter ataupun kekerasan.

Disiplin menurut Robert S Ellis membedakan 2 pengertian, yaitu disiplin “under-control” : disiplin dengan pengawasan dari luar, yang sedikit menjadi disiplin, sedangkan disiplin “self control” yaitu disiplin yang didasarkan atas penguasaan diri untuk tidak melanggar ketentuan dan peraturan, sesudah memiliki pemahaman dan kesadaran untuk selalu patuh pada norma-norma. Menanamkan disiplin dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk mematuhi dan mendukung nilai-nilai, ketentuan dan peraturan yang berlaku, serta menumbuhkan rasa harga diri sebagai atlet yang disiplin, yang mematuhi ketentuan dan nilai-nilai, maka perlu sekali menanamkan disiplin yang dikaitkan dengan penguasaan diri.

Pelatih yang berusaha menanamkan disiplin dengan paksaan dan hukuman, sekaligus agar berwibawa dimata atlet, mungkin dapat menciptakan suasana penuh disiplin, namun disiplin yang tampak tersebut terbentuk atas dasar rasa cemas dan takut hukuman semata-mata.

Sebagaimana ditegaskan Dobson (1986), rasa hormat dan tanggung jawab merupakan hasil dari cinta-kasih dan disiplin, sedangkan rasa tidak aman sebagian besar disebabkan oleh tidak kekerasan. Pengawasan bukan dimaksudkan mencari kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada pemanfaatan untuk menujukan hal-hal yang baik dan yang kurang baik, kemudian memberi kesepakatan pada atlet untuk lebih memahami, menyadari, dan lebih lanjut menimbulkan dorongan, motivasi untuk berbuat sesuatu yang membanggakan.

Inti pokok disiplin pada hakekatnya adalah rasa tanggung jawab dan penguasaan diri, apabila hal tersebut telah dimiliki oleh atlet, maka ia akan mampu mengatur dirinya sendiri dan bertindak kearah pada tujuan yang baik dan jauh dari pelanggaran nilai-nilai, norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku.

Menanamkan disiplin dan membina sikap atlet merupakan bagian dari upaya mendidik atlet agar memiliki kepribadian yang baik dan sikap-sikap yang positif-kontrukstif.

Peraturan-peraturan dan tata tertib merupakan hal yang sangat perlu untuk menegakan disiplin, agar peraturan, serta tatatertib betul-betul menjadi milik bersama. proses penyusunan peraturan dan ketentuan tersebut perlu diperhatikan keterlibatan para Pembina, pelatih dan atlet.

Tutko dan Richards (1975) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

§ citra film yang baik

§ keefektifan dalam penampilan

§ sikap-sikap pribadi terhadap tim

§ perasaan individual dari para pemain.

Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, seringkali dan bahkan hampir semua, sebenarnya berasal dari dalam diri. Mereka tanpa sadar menciptakan mata rantai masalah yang berakar dari problem konsep diri. Dengan kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai yang macam-macam terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain – dan bahkan meyakini persepsinya yang belum tentu obyektif. Dari situlah muncul problem seperti inferioritas, kurang percaya diri, dan hobi mengkritik diri sendiri.

Artikel berikut akan mengulas tentang konsep diri, apa dan bagaimana konsep diri berpengaruh terhadap munculnya problem yang dialami manusia sehari-hari.Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.

Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.

Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.

2.2.2 Konsep Diri

Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.

Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya.

Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya.

Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.

Dalam usaha dalam menghindarkan tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial itu, kiranya perlu sekali untuk sekedar mengetahui bagaimana terjadinya prasangka sosial dan apa sebab-sebabnya prasangka sosial itu dipertahankan orang yang sudah berprasangka itu.

Didalam macam-macam penelitian dan observasi-observasi tampak bahwa misalnya pada sekolah-sekolah internasional tiada terdapat sedikitpun prasangkan social pada anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan “ras” atau kebudayaan itu. Mereka baru akan memperolehnnya didalam perkembangannya apabila mereka bergaul erat dengan orang-orang yang mempunyai prasangka sosial. Dan hal ini berlangsung dengan sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses-proses imitasi, sugessti, identifikasi dan simpati yang memegang peranan utama didalam interaksi sosial itu.

Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dengan berpikir yang tidak-tidak terhadap suatu keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis, konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Salah satu langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif yaitu bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri Jangan abaikan pengalaman positif ataupun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t be all things to all people, you can’t do all things at once, you just do the best you could in every way....

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Bebetapa faktor yang dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang, seperti :

a. Pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.

b. Kegagalan

Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.

c. Depresi

Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.

d. Kritik internal

Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.

e. Menghargai diri sendiri

Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif? Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa menghargai diri kita ?

f. Jangan memusuhi diri sendiri

We are what we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts, we make the world (The Buddha). Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi, kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.

g. Berpikir positif dan rasional

Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif konsep dirinya.

2.4 Terjadinya prasangka sosial

Terjadinya prasangka social semacam ini juga disebut pertumbuhan prasangka sosil dengan tidak sadar dan yang berdasarkan pada kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fata kehidupan yang sebenarnnya daripada golongan-golongan orang yang dikenakan itu.

Suatu factor lainya yang lebih sadar dan yang dapat mempertahankan serta memupuk prasangka social yang gigih, ialah faktor kepentingan prseorangan atau golongan tertentu, yang akan memperoleh keuntungannnya, atau rezekinnya, apabila mereka memupuk prasangka sosial itu prasangka sosial itu seperti yang diuraikan oleh A.M. Rose (14) dalam brosur Unesco : The rots of prejudice 1951, prasangka sosial dengan demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongan-golongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri. Hal ini tampak pada penjajahan diman akaum penjajah menggunakan dan memupuk prasangka-prasangka sosial antara golongan-golongan yang dijajah demi keselamatan kelompoknnya sendiri (devide et impera).Prasangka sosial terhadap golongan yang lain menimbulkan halangan-halangan dalam pergaulan antar golongan dan kemudian dapat memecah belah kerja sama yang wajar antar golongan tersebut.

2.4.1 Ciri pribadi orang berprasangka

Pekembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa faktor inter diri pribadi orang yang mempermudah terbentuknnya prasangka sosial. Menurut beberapa penyelidikan psikologis, terdapatlah beberapa ciri-ciri pribadi orang Yang mempemudah bertahannya prasangka sosial antara lain tidak toleran, kurang mengenal akan dirinnya sendiri, kurang berdaya cipta tidak merasa aman memupuk hayalan-hayalan yang agresif.

2.4.2 Usaha mengurangi prasangka sosial

Dalam usaha-usaha memerangi prasangka sosial antar golongan itu kirannya jelas bahwa harus dimulai pada didikan anak-anak dirumah dan disekolah oleh orang tua dan gurunnya.

Bagi bangsa kita ini, yang sejak kemerdekaanya telah mengalami pahitnnya beberapa pemberontakan yang sebagian besarnnya turut disebabkan, mungkin satu-satunnya disebabkan oleh adannya prasangka sosial, karena masih terdapat akar-akar prasangka sosial antar golongan akibat zaman kolonial dan bangsa kita yang menhadapi asa depan yang besar apabila seluruh potensi masyarakat dapat berkembang tanpa prasangka sosial antar golongan, kirannnya patut lebih berkenalan dengan gejala-gejala “prasangka sosial” serta sebab-sebabnnya.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Psikilogi olahraga sangat penting dalam disiplin pengendalian diri. Karena bannyak hal bertentangan batin antara mengutamakan kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum, merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Oleh karena itu sebagai seorang atlet bisa memiliki disiplin dan pengendalian diri baik dalam olahraga maupun dalam bermasyarakat.

3.2 Saran

Penanaman disiplin dalam buku psikologi olahraga harus dilandasi pengertian pokok mengenai pengendalian diri dan disiplin, yang intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran, serta tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Gerungan, A. 1980. Psychologi Sosial. Jakarta: P.T. Eresco.

Gunarsa, Singgih, dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK-GM.

Pate, Russel, dkk. 1964. Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Sears, David, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Setyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Copyright.

Walgito, Bimo. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.