Minggu, 07 Desember 2008

Disiplin dan Penguasaan Diri

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam hal berolahraga kita mengamati lebih mendalam penampilan-penampilan para atlet, dalm makalah ini atlet sebenarnnya meliputi berbagai aspek yaitu dari berbagai bentuk, perkembangan disiplin bagi atlet, menanamkan disiplin, bersikap obyektif mengenali diri sendiri, dan juga mengenali diri sendiri. Dari bentuk-bentuk disiplin dan pengendalian diri ini kita sebagai atlet bisa memahami lebih mendalamnnya.

1.2 Tujuan

Sebagai mahasiswa olahraga, kita harus mengetahui betapa pentingnya pengendalian diri bagi diri kita. Sebab pengendalian diri atau disiplin yang tertanam dihati para atlet bisa suatu dorongan semangatnnya kita melakukan latihan disaat stres yang kita alami diluar yang bisa menenangkan hati dan pikiran agar berkonsentrasi melakukan latihan.

BAB II

PEMBAHASAN

DISIPLIN DAN PENGENDALIAN DIRI

Kehidupan social adalah kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai. Disiplin seseorang terlihat dari kesediaan untuk mereaksi dan bertindak terhadap nilai-nilai yang berlaku, yaitu nilai-nilai yang tertuang atau yang terwujud dalam bentuk ketentuan, tata-tertib, aturan, tatanan hidup atau kaidah-kaidah tertentu.

Kesediaan mereaksi dan bertindak terhadap obyek tertentu adalah sikap kejiwaan. Atau “attitude”, yang sementara orang menyebut sebagai sikap mental. Menurut Fren N. Kerlinger (1975) sikap kejiwaan selalu dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak, bertindak positif atau negative, dalam hubungannya dengan obyek tertentu.

Menurut Tutko dan Richards (1975) menegaskan bahwa disiplin :

ü mengutamakan dan mengatur kondisi fisik

ü pengembangan penguasaan emosi

ü menciptakan citra sebagai olahragawan yang sebenarnnya.

2.1 Perkembangan Disiplin

Perkembangan disiplin yang mengandung kepatuhan atau ketaatan pada nilai-nilai, terutama sekali dimulai sejak masa kanak-kanak, peranan pada orang tua dan linkungan pergaulan masa kecil sangat besar pengaruhnnya pada perkembangan disiplin anak selanjutnnya.

Sesuai teori belajar maka pengaruh pendidikan akan besar terhadap perkembangan sikap dan tingkah laku manusia. Tiga masalah utama dari jenjang yang dianggap paling penting adalah:

ü tidak adannya disiplin

ü penggunaan obat terlarang dan

ü kurikulum yang kurang baik

Dalam olahraga atlet selalu menghadapi pilihan antara melakukan ketentuan sesuai program latihan yang ditetapkan atau mangkir dari latihan, antara patuh pada peraturan dan bertindak sportif dengan melanggar peraturan asal dapat memenangkan pertandingan, dsb-nya.

Dalam bannyak hal bertentangan batin antara mengutamakan kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum, merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Motivasi untuk mendapat kepuasan individu apabila tidak diimbangi dengan motivasi social yang positif dan kuat, dapat menjurus kearah tindakan yang tidak patuh pada nilai-nilai atau tindakan yang melanggar disiplin.

2.1.1 Disiplin Semu dan “ self-discipline “

Disiplin semu adalah disiplin yang tanpak dipemukaan saja, kepatuhan yang dilandasi disiplin semu tidak dapat bertahan lama, karena disiplin semu terjadi hanya pada saat pengawasan, disertai rasa takut pada sangsi dan ancaman pelatih tanpa ada kesadaran.

Disiplin sering diartikan dalam kaitanya dengan ancaman dan hukuman, dari sisi lain disiplin juga erat kaitannya dengan pengawasan atau control dan proses belajar.

Prinsip mengontrol diri sendiri merupakan hal yang terpenting dalam disiplin, atlet yang menunjukan kebiasaan selalu menepati ketentuan, peraturan, dan nilai-nilai, berarti dapat mengontrol diri-sendiri untuk tidak melanggar ketentuan dan peraturan ataupun nilai-nilai yang berlaku.

Disiplin ada hubungannya dengan sikap penuh rasa tanggung jawab, karena atlet yang berdisiplin cenderung untuk menepati, mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya. Sikap untuk mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya, atlet akan berusaha untuk tidak mengingkari dan sedapat-dapatnnya mematuhi.

Sehubungan dengan itu maka atlet yang disiplin akan setia untuk menepati kebiasaan hidup sehat, mematuhi petunjuk-petunjuk pelatihnya, setia untuk melakukan program-program latihan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginnya.

Atlet yang memiliki disiplin diri sendiri sudah memiliki kesadaran untuk berlatih sendiri, meningkatkan keterampilan, dan menjaga kondisi fisik dan kesegaran jasmaninnya, dan dapat menguasai diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan atau yang dapat merugikan diri sendiri dan lebih lanjut selalu akan berusaha untuk hidup dan berusaha berbuat sebaik-baiknnya sesuai dengan citrannya sebagai atlet yang ideal.

Disiplin yang disertai pemahaman dan kesadaran erat hubungannya dengan sikap penuh tanggung jawab dan individu yang bersangkutan cenderung berusaha menepati, mendukung, dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya.rasa tanggung jawab yang dipatuhi, tidak mengingkari, dan harapan akan kelangsungan nilai-nilai akang berkembang menjadi sikap hidupnnya sehari-hari.

2.1.2 Peranan pelatih

Hubungan guru dengan murid merupakan hal yang sangat penting dan sumber terbentuknnya disiplin yang baik dan yang buruk. Disiplin yang kaku, dalam bentuk apapun akan dapat menghasilkan ketidak puasan, bahkan dapat menimbulkan pemberontakan terhadap pemegang kekuasaan.

Menurut Tutko dan Richards (1975) yang cukup menarik mengenai sikap pelatih, bagaimana seorang pelatih menghadapi atlet yang ragu-ragu menjadi anggota team. Sebagai pelatih harus memiliki sikap tegas untuk dapat membawakan pengaruhnnya sehingga atlet bersikap dewasa, menerima peraturan dengan penuh kesadaran.pelatih harus mempunyai konsepsi yang mantap, menguasai prinsip-prinsip pokok untuk menumbuhkan disiplin, harus dapat mengarahkan kearah tindakan-tindakan yang positif-kontruktif memberi bimbingan apabila diperlukan, dan mengawasi kemungkinan terjadinnya pelanggaran terhadap peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

2.2 Menanamkan disiplin

Penanaman disiplin harus dilakukan terus-menerus, karena disiplin seperti halnnya sikap menusia lainya, selalu dapat berubah dan dapat dipengaruhi. Dalam upaya pembinaan atlet kerja sama antara pelatih dengan orang tua atlet sangat perlu.

Cara-cara otoriter dengan paksaan atau hukuman, James Dobson (1986) mengukakan bahwa aktivitas penuh disiplin harus dilakukan dalam suatu kerangka kerja penuh cinta-kasih dengan memahami perasaan subyek, rasa hormat dan tanggung jawab subyek merupakan hasil cinta-kasih dan disiplin.

2.2.1 Penguasaan diri

Penanaman disiplin harus dilandasi pengertian pokok mengenai disiplin, yang intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran, serta tanggung jawab.

Menurut Robert S Ellis (1956) membedakan perkembangan disiplin yang ditanamkan dengan pengawasan yang ketat, paksaan dan hukuman yang sewajarnya, Menanamkan disiplin tidak harus dengan tindakan otoriter ataupun kekerasan.

Disiplin menurut Robert S Ellis membedakan 2 pengertian, yaitu disiplin “under-control” : disiplin dengan pengawasan dari luar, yang sedikit menjadi disiplin, sedangkan disiplin “self control” yaitu disiplin yang didasarkan atas penguasaan diri untuk tidak melanggar ketentuan dan peraturan, sesudah memiliki pemahaman dan kesadaran untuk selalu patuh pada norma-norma. Menanamkan disiplin dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk mematuhi dan mendukung nilai-nilai, ketentuan dan peraturan yang berlaku, serta menumbuhkan rasa harga diri sebagai atlet yang disiplin, yang mematuhi ketentuan dan nilai-nilai, maka perlu sekali menanamkan disiplin yang dikaitkan dengan penguasaan diri.

Pelatih yang berusaha menanamkan disiplin dengan paksaan dan hukuman, sekaligus agar berwibawa dimata atlet, mungkin dapat menciptakan suasana penuh disiplin, namun disiplin yang tampak tersebut terbentuk atas dasar rasa cemas dan takut hukuman semata-mata.

Sebagaimana ditegaskan Dobson (1986), rasa hormat dan tanggung jawab merupakan hasil dari cinta-kasih dan disiplin, sedangkan rasa tidak aman sebagian besar disebabkan oleh tidak kekerasan. Pengawasan bukan dimaksudkan mencari kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada pemanfaatan untuk menujukan hal-hal yang baik dan yang kurang baik, kemudian memberi kesepakatan pada atlet untuk lebih memahami, menyadari, dan lebih lanjut menimbulkan dorongan, motivasi untuk berbuat sesuatu yang membanggakan.

Inti pokok disiplin pada hakekatnya adalah rasa tanggung jawab dan penguasaan diri, apabila hal tersebut telah dimiliki oleh atlet, maka ia akan mampu mengatur dirinya sendiri dan bertindak kearah pada tujuan yang baik dan jauh dari pelanggaran nilai-nilai, norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku.

Menanamkan disiplin dan membina sikap atlet merupakan bagian dari upaya mendidik atlet agar memiliki kepribadian yang baik dan sikap-sikap yang positif-kontrukstif.

Peraturan-peraturan dan tata tertib merupakan hal yang sangat perlu untuk menegakan disiplin, agar peraturan, serta tatatertib betul-betul menjadi milik bersama. proses penyusunan peraturan dan ketentuan tersebut perlu diperhatikan keterlibatan para Pembina, pelatih dan atlet.

Tutko dan Richards (1975) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

§ citra film yang baik

§ keefektifan dalam penampilan

§ sikap-sikap pribadi terhadap tim

§ perasaan individual dari para pemain.

Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, seringkali dan bahkan hampir semua, sebenarnya berasal dari dalam diri. Mereka tanpa sadar menciptakan mata rantai masalah yang berakar dari problem konsep diri. Dengan kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai yang macam-macam terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain – dan bahkan meyakini persepsinya yang belum tentu obyektif. Dari situlah muncul problem seperti inferioritas, kurang percaya diri, dan hobi mengkritik diri sendiri.

Artikel berikut akan mengulas tentang konsep diri, apa dan bagaimana konsep diri berpengaruh terhadap munculnya problem yang dialami manusia sehari-hari.Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.

Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.

Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.

2.2.2 Konsep Diri

Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.

Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya.

Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya.

Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.

Dalam usaha dalam menghindarkan tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial itu, kiranya perlu sekali untuk sekedar mengetahui bagaimana terjadinya prasangka sosial dan apa sebab-sebabnya prasangka sosial itu dipertahankan orang yang sudah berprasangka itu.

Didalam macam-macam penelitian dan observasi-observasi tampak bahwa misalnya pada sekolah-sekolah internasional tiada terdapat sedikitpun prasangkan social pada anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan “ras” atau kebudayaan itu. Mereka baru akan memperolehnnya didalam perkembangannya apabila mereka bergaul erat dengan orang-orang yang mempunyai prasangka sosial. Dan hal ini berlangsung dengan sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses-proses imitasi, sugessti, identifikasi dan simpati yang memegang peranan utama didalam interaksi sosial itu.

Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dengan berpikir yang tidak-tidak terhadap suatu keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis, konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Salah satu langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif yaitu bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri Jangan abaikan pengalaman positif ataupun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t be all things to all people, you can’t do all things at once, you just do the best you could in every way....

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Bebetapa faktor yang dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang, seperti :

a. Pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.

b. Kegagalan

Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.

c. Depresi

Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.

d. Kritik internal

Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.

e. Menghargai diri sendiri

Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif? Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa menghargai diri kita ?

f. Jangan memusuhi diri sendiri

We are what we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts, we make the world (The Buddha). Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi, kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.

g. Berpikir positif dan rasional

Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif konsep dirinya.

2.4 Terjadinya prasangka sosial

Terjadinya prasangka social semacam ini juga disebut pertumbuhan prasangka sosil dengan tidak sadar dan yang berdasarkan pada kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fata kehidupan yang sebenarnnya daripada golongan-golongan orang yang dikenakan itu.

Suatu factor lainya yang lebih sadar dan yang dapat mempertahankan serta memupuk prasangka social yang gigih, ialah faktor kepentingan prseorangan atau golongan tertentu, yang akan memperoleh keuntungannnya, atau rezekinnya, apabila mereka memupuk prasangka sosial itu prasangka sosial itu seperti yang diuraikan oleh A.M. Rose (14) dalam brosur Unesco : The rots of prejudice 1951, prasangka sosial dengan demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongan-golongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri. Hal ini tampak pada penjajahan diman akaum penjajah menggunakan dan memupuk prasangka-prasangka sosial antara golongan-golongan yang dijajah demi keselamatan kelompoknnya sendiri (devide et impera).Prasangka sosial terhadap golongan yang lain menimbulkan halangan-halangan dalam pergaulan antar golongan dan kemudian dapat memecah belah kerja sama yang wajar antar golongan tersebut.

2.4.1 Ciri pribadi orang berprasangka

Pekembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa faktor inter diri pribadi orang yang mempermudah terbentuknnya prasangka sosial. Menurut beberapa penyelidikan psikologis, terdapatlah beberapa ciri-ciri pribadi orang Yang mempemudah bertahannya prasangka sosial antara lain tidak toleran, kurang mengenal akan dirinnya sendiri, kurang berdaya cipta tidak merasa aman memupuk hayalan-hayalan yang agresif.

2.4.2 Usaha mengurangi prasangka sosial

Dalam usaha-usaha memerangi prasangka sosial antar golongan itu kirannya jelas bahwa harus dimulai pada didikan anak-anak dirumah dan disekolah oleh orang tua dan gurunnya.

Bagi bangsa kita ini, yang sejak kemerdekaanya telah mengalami pahitnnya beberapa pemberontakan yang sebagian besarnnya turut disebabkan, mungkin satu-satunnya disebabkan oleh adannya prasangka sosial, karena masih terdapat akar-akar prasangka sosial antar golongan akibat zaman kolonial dan bangsa kita yang menhadapi asa depan yang besar apabila seluruh potensi masyarakat dapat berkembang tanpa prasangka sosial antar golongan, kirannnya patut lebih berkenalan dengan gejala-gejala “prasangka sosial” serta sebab-sebabnnya.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Psikilogi olahraga sangat penting dalam disiplin pengendalian diri. Karena bannyak hal bertentangan batin antara mengutamakan kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum, merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Oleh karena itu sebagai seorang atlet bisa memiliki disiplin dan pengendalian diri baik dalam olahraga maupun dalam bermasyarakat.

3.2 Saran

Penanaman disiplin dalam buku psikologi olahraga harus dilandasi pengertian pokok mengenai pengendalian diri dan disiplin, yang intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran, serta tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Gerungan, A. 1980. Psychologi Sosial. Jakarta: P.T. Eresco.

Gunarsa, Singgih, dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK-GM.

Pate, Russel, dkk. 1964. Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Sears, David, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Setyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Copyright.

Walgito, Bimo. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Tidak ada komentar: