Minggu, 07 Desember 2008

“RINGELMANN EFFECT” DAN PEMBINAAN TIM

“RINGELMANN EFFECT” DAN PEMBINAAN TIM

§ Ringelmann Effect

Silva III dan Weinberg (1984) mengemukakan hasil penelitian psikolog Jerman yang terkenal, yaitu Ringelmann yang kemudian diteliti kembali oleh Ingham, dkk. Dalam studinya Ringelmann meneliti kemampuan menarik tambang individu–individu dalam, menarik 8 kali kemampuan individu, tetapi hanya 4 kali kemampuan individu. Lebih terinci lagi, kelompok yang terdiri dari 2 orang kemampuannya 93% rata-rata kemampuan individu, kelompok yang terdiri dari 3 orang kemampuannya 83% rata-rata kemampuan individu, kelompok 8 orang 49% kemampuan rata-rata individu.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Ringelmann tersebut terbukti bahwa terjadi penurunan penampilan rata-rata individu apabila terjadi peningkatan jumlah anggota kelompok, dan ini dikenal sebagai “Ringelmann Effect”. Menurut Latane dkk, gejala tersebut terjadi karena hilangnya motivasi dan berbaurnya rasa tanggung jawab.

Penampilan dan prestasi atlit berkaitan dengan motivasi atlit, khususnya motivasi untuk berprestasi dan motivasi ketergabungan anggota dalam ikatan tim. Dalam kelompok ikatan atau tim tidak harus individu kehilangan atau menurunkan prestasinya, ataupun melemah rasa tanggung jawabnya. Peningkatan atau merosotnya prestasi atlit dalam ikatan tim dipengaruhi oleh banyak faktor, yang dapat dikelompokkan dalam faktor-faktor internal yang datang dari dalam diri subyek dan faktor-faktor eksternal yang timbul dari dalam proses interaksi atlit dengan orang lain disekitarnya. Faktor internal misalnya “competitif trait anxiety/CTA” atau rasa cemas menghadapi pertandingan. Pada atlit yang mempunyai CTA tinggi berarti mudah cemas menghadapi pertandingan, ketergabungannya dalam ikatan tim akan dapat mengurangi rasa cemas, sehingga ia akan dapat bermain dengan lebih baik daripada bermain secara individu atau sendiri. Hal ini juga erat hubungannya dengan situasi interaksi dalam tim tersebut, misalnya atlit tersebut dituntut untuk berprestasi yang dirasakan melebihi dari kemampuannya, bisa saja akan timbul hambatan untuk dapat berprestasi dengan baik.

Dari uraian dan beberapa contoh sebelumnya jelaslah bahwa dampak Ringelmann atau “Ringelmann Effect” sebagaimana digambarkan dalam hasil penelitian Ringelmann dan Ingham, tidak selalu relevan untuk menganalisis gejala merosotnya prestasi kelompok atau tim dalam olahraga. Tugas-tugas dan tantangan yang dihadapi suatu tim kemungkinan dihadapi anggota-anggota tim dengan menurunnya rasa tanggung jawab, kurang gairah karena kemampuan individual kurang menonjol, menimbulkan kecemasan karena takut akan kalah dan sebaganya. Tetapi sebaliknya dapat juga menimbulkan rasa kebersamaan untuk membela nama baik tim, lebih meningkatkan motivasi untuk berprestasi karena tiap-tiap anggota tim tidak ingin menjadi penyebab kurang berhasilnya penampilan tim.

§ Pembinaan Tim

Pembinaan tim bertujuan untuk mencapai puncak penampilan dan prestasi yang setinggi-tingginya, dengan tetap menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya dampak-dampak yang bersifat negatif, baik terjadi dalam ikatan tim maupun lain tim.

Oleh tim peneliti dikemukakan bahwa orang-orang yang bekerja dalam kelompok, lambat laun akan lebih sadar dan lebih mudah mengerti akan kebutuhan-kebutuhan anggota kelompok masing-masing dalam peranannya (fungsinya) pada kelompok itu, dan akan memahami kebutuhan rekan-rekan dan dirinya sendiri dalam timbal balik hubungan anggota kelompok. Saling pengertian dan saling merasa perlu mengetahui keperluan-keperluan anggota lainnya itu menjadi syarat penting pula agar terdapat kerjasama yang produktif antara anggota kelompok itu. Jadi anggota kelompok harus belajar mengerti dan merasakan keperluan-keperluan kawan anggotanya, apabila anggota kelompok itu ingin bekerjasama secara efektif. Hal itu dapat dipelajari apabila benar-benar memperhatikan proses interaksi yang berlangsung antar anggota kelompok, dan juga memperhatikan keinginan-keinginan dirinya sendiri dalam proses interaksi tersebut.

Upaya pembinaan tim dimulai dengan upaya menumbuhkan rasa kesatuan sebagai anggota tim sehingga terbentuk “team cohesion” sebaik-baiknya. Menurut Tutko dan Richard (1971) dalam hubungan ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut

Ø Saling menghormati baik antara pemain maupun dengan pelatih.

Ø Menciptakan komunikasi yang efektif; setiap anggota tim harus menunjukkan kesediaan dalam berkomunikasi dengan penuh pengertian antara satu sama lain.

Ø Tujuan bersama; harus ada keyakinan, kesediaan menerima satu tujuan untuk dicapai bersama.

Ø Perasaan menjadi “anggota penting”; sebagai anggota tim, perasaanya harus diperhatikan, mendapat pengakuan atas pengorbanan yang diberikan, dan dibantu oleh anggota lain serta pelatih.

Ø Perlakuan yang adil; setiap pemain merasa membutuhkan perlakuan yang sama untuk mendapatkan kesempatan dalam mengembangkan bakat secara maksimal.

Hasil utama dari suatu “teamwork” yang baik adalah terciptanya kerjasama antara anggota tim yang sebaik-baiknya, suasana kekeluargaan dan hubungan erat antara anggota, dan setiap anggota tim meletakkan kebahagiaan tim di atas kepentingan sendiri.

Richrad H. Cox (1985) mengemukakan hasil penelitian Martens dan Peterson mengenai hubungan antara rasa kesatuan sebagai anggota tim atau “team cohesion” sukses dalam penampilan dan kepuasan. Hasil penelitian Martens dan Peterson terhadap tim basket pada tahun 1971 menunjukkan adanya korelasi positif antara team cohesion dan kepuasan anggota. Lebih lanjut diajukan model pemikiran hipotekik yang menggambarkan bahwa team kohesion dapat mendorong sukses dalam penampilan, dan sukses dalam penampilan akan menimbulkan kepuasan, lebih lanjut kepuasan akan lebih memperkuat team cohesion.

Pada tahun 1982 Williams dan Hacker meneliti pemain-pemain hockey putri, dan berkesimpulan bahwa sukses dalam penampilan dan team cohesion akan mendorong timbulnya kepuasan yang lebih besar, tetapi kepuasan tidak mendorong apapun.

Model Model

Martens/Peterson Williams/Hackers

“Team cohesion” Sukses dalam penampilan

Kepuasan Sukses dalam Kepuasan Team cohesion

penampilan

Gambar: Hubungan antara “team cohesion”, sukses dalam penampilan,dan kepuasan (Richard M. Cox, 1985)

Pada gambar yang dibuat oleh Richard H. Cox (1985) seperti dibawah ini, terlihat perbedaan model pemikiran hipoeikik Martens dan Peterson dibandingkan dengan pemikiran hipotekik Williams dan Hacker. Menurut Williams dan Hackers sukses dalam penampilan akan mendorong timbulnya kepuasan dan timbulnya “team cohesion”. Disamping itu, “team cohesion” juga mendorong timbulnya kepuasan, tetapi kepuasan tidak akan mendorong apapun. Perkembangan suatu tim akan ditentukan atau dipengaruhi individu-individu yang dominan dalam tim tersebut, oleh karena itu peranan pelatih sangat penting lebih mengarahkannya.

Tutko dan Richard (1971) menekankan arti pentingnya pembentukan citra atau “image building”, karena seseorang akan bereaksi atas dasar pandangannya tentang diri sendiri dan orang lain. Sebagai anggota tim mereka cenderung bertindak sesuai keyakinan mereka tentang diri mereka; misalnya kurang percaya diri sikap-sikap agresif dan sebagainya merupakan reaksi yang didasarkan atas perasaan mereka tentang diri mereka sendiri. Tutko dan Richard juga menekankan arti pentingnya menciptakan citra yang positif atau “positif image” tentang timnya, dan menghindarkan citra negatif atau “negative image” yang hanya akan merugikan perkembangan sikap anggota tim tersebut.

Mengenal pembentukan citra positif suatu tim dapat dilakukan dengan mengembangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Menggambarkan tim tersebut sebagai tim pemenang lebih menguntungkan daripada menggambarkan sebagai tim yang sering mengalami kekalahan.

2. Citra positif sebagian besar berkembang dalam suatu tim dengan disiplin yang baik, sedangkan citra negatif biasanya terdapat dalam tim yang kurang disiplin.

3. Ketegasan seorang pelatih; nilai-nilai etik seorang pelatih adalah sangat penting. Untuk menciptakan citra positif seorang pelatih harus bertindak tegas terhadap pelanggaran peraturan yang disepakati bersama.

4. Sub-kultur dalam tim; setiap tim memiliki budayanya sendiri dan mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya kelompok /tim akan terasing atau diminta untuk meninggalkan tim.

Rasa keterikatan sebagai anggota tim merupakan hal sangat penting dalam pembinaan tim, oleh karena itu banyak dibicarakan oleh para ahli psikologi olahraga. Dalam rangaka mengembangkan rasa kesatuan dalam ikatan tim, Richard H. Cox (1985) juga mengajukan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Dengan penuh tanggung jawab setiap pemain memahami atau mengenal tugas dan tanggung jawab pemain lain.

2. Pelatih lebih mengenal kehidupan pribadi pemain dalam tim

3. Mengembangkan rasa bangga dalam menyelesaikan tugas-tugas untuk kepentingan tim.

4. Mengembangkan rasa “memiliki”, setiap pemain merasa tim dimana ia tergabung sebagai timnya.

5. Menentukan bersama tujuan yang akan dicapai dan menumbuhkan rasa bangga untuk dapat mencapainya.

6. Setiap pemain mempelajari perannya dan yakin bahwa perannya tersebut penting.

7. Jangan menuntut atau mengharap ketenangan kelompok secara mutlak, tanpa adanya gesekan antara pemain akan berkurang pula minat untuk mencapai tujuan kelompok.

8. Apabila ada tanda-tanda kelompok kecil menunjukkan komposisi terhadap pencapaian tujuan tim, maka keberadaan kelompok kecil tersebut harus dihindarkan.

9. Dengan metode dril (“team drill”) dikembangkan kerjasama antar anggota tim.

10. memberikan gambaran tentang kesuksesan tim, meskipun tim tersebut sedang mengalami kekalahan. Ini penting untuk menimbulkan kesatuan dan kepuasan bahwa permainan anggota tim juga ada yang baik.

Berbagai cara untuk menopang terbentuknnya rasa kesatuan team dapat dilakukan antara lain dengan membuat slogan, tanda-tanda (emblem), uniform yang disepakati bersama.

Dari segi kepelatihan, berbagai cara dapat dilakukan, namun yang penting setiap pelatih harus menyadari sepenuhnnya tujuan atau sasaran yang ingin yang dicapai, yaitu meningkatnnya rasa tanggung jawab, rasa memiliki dan rasa ketergabungan sebagai anggota team, disiplin, kepercayaan pada diri sendiri, kesediaan berkorban untuk kepentingan tim, kebanggaan sebagai anggota tim, motifasi untuk mencaoai prestasi tim yang setinggi-tingginnya.

§ Motif Berprestasi dalam Ikatan Tim

Motivasi adalah tenaga pendorong yang mendasari penampilan atlit maupun tim. Dalam pencapaian suatu hasil yang baik, faktor yang sangat berperan adalah motivasi. “Motivation appears to be the key to accomplishment, whether it be in sport, in teaching, research, or some other callenging pursuit (Straub, 1978)”. Istilah motivasi ini sering disamakan penggunaannya dengan motif yang di artikan sebagai faktor internal yang mengarahkan tingkah laku. Pengertian motivasi bersifat, umum sedangkan motif yang diartikan sebagai faktor internal yang mengarahkan tingkah laku. Pengertian motivasi bersifat umum sedangkan motif bersifat spesifik. Motif didorong oleh suatu kebutuhan internal dan keinginan memenuhinya.

Dalam suatu penelitian mengenai kebutuhan-kebutuhan mendasar pada atlit maupun tim, terungkap kebutuhan utamanya adalah kebutuhan untuk berprestasi (need of achiavement) dan untuk melakukan kegiatan fisik (Vaneek dan Cratty, 1970). Kebutuhan tersebut mengarahkan tingkah laku dengan titik berat pada tercapainya prestasi di bidang olahraga tertentu. Atlit maupun tim dengan motif berprestasi tinggi akan terangsang untuk mencapai prestasi lebih baik, bila dihadapkan dengan suatu situasi yang membangkitkan motif tersebut yaitu situasi kompetitif seperti di pertandingan.

Dengan berperannya motif ini, usaha untuk mencapai tujuan akan lebih terarah dan teratur. Sebaliknya, akibat usaha dan motif nerprestasi kurang berperan, semangat juangnya akan kurang terangsang oleh situasi kompetitif.

Tanpa memiliki motif berprestasi yang kuat dari anggota-anggotanya, maka suatu tim tidak mungkin mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Motif berprestasi adalah motif atau dorongan untuk berpacu dengan keunggulan, baik keunggulan diri sendiri maupu keunggulan orang lain, oleh karena itu dengan memiliki motif berprestasi yang kuat seorang atlit akan selalu berusaha lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya sendiri, dan juga selalu berpacu dengan prestasi orang lain.

§ Metode Sosiometri

Metode ini yang ditemukan oleh J.L. Moreno, merupakan metode baru di dalam kalangan ilmu sosial dan bermaksud untuk meneliti “intra-group-relations” atau saling hubungan antara anggota kelompok di dalam suatu kelompok.

Dengan penelitian sosiemetri dapat ditunjukkan adanya “formal group” dan “ informal group”, atau adanya kemungkinan adanya sub-kelompok dalam suatu kelompok atau tim. Hal ini dimungkinkan karena dengan penelitian sosiometri digambarkan adanya hubungan antara anggota kelompok.

Menurut Moreno (1951) sosiometri berkembang kearah tiga pola riset, yaitu:

1. “diagnostic sociometry”, dikembangkan oleh Lunberg dan Bogardus, dimaksudkan untuk membuat diagnosa mengenai saling hubungan yang terjadi dalam kelompok

2. “dynamics sociometry” diselidiki secara mendalam oleh Moreno dan Jennings, dimaksudkan untuk menyelidiki dinamika atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam saling hubungan dan struktur kelompok

3. “mathematical sociometry”, dikembangkan oleh Lazarfeld dan stewart, terutama dimaksudkan untuk meneliti kekuatan-kekuatan (forces) yang berkembang dalam suatu kelompok.

Untuk memperoleh keterangan mengenai saling hubungan antar anggota sekelompok itu, maka diajukan sebuah daftar pertanyaan kepada semua anggota-anggota kelompok yang ingin diselidiki, misalnya sebuah kelas di sekolah. Daftar pertanyaan itu merupakan ajakan untuk menentukan sikap anggota kelompok terhadap anggota kelompok lainnya yang ia kenal. Ia misalnya diajak untuk memilih antara kawannya sekelompok kelas, siapa yang menurut pendapatnya paling memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kawan yang paling cakap sebagai pemimpin kelompok, atau kawan yang paling cocok sebagai pemimpin kelompok, atau kawan yang paling cocok sebagai kawan sekerja, dan lain-lain tergantung kepada sifat-sifat saling hubungan yang ingin kita selidiki dengan metode ini.

Khususnya dalam olahraga, dengan mengetahui hubungan sosial yang terjadi dalam kelompok yang dibina, seorang pelatih lebih dapat meningkatkan saling hubungan dengan lebih positif, mengatasi kemungkinan terjadinja perpecahan atau hubungan disharmonis yang dapat merugikan perkembangan kelompok atau tim yang dihina. Dengan mengetahui hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalam tim, seorang pelatih dapat memberikan bimbingan yang lebih terarah dan tepat dalam menghadapi berbagai masalah; antara lain dalam kelompok ini dapat memanfaatkan tokoh kunci yang ada dalam kelompok.

§ Kegunaan Metode Sosiometri

Dalam rangka pembinaan tim maka metode sosiometri banyak sekali manfaatnya. Motivasi, sikap, dan tingkah laku kelompok sebagian besar dipengaruhi oleh individu-individu yang dominan dalam kelompok; melalui penelitian sosiometri dapat diketahui adanya tokoh kunci atau “key-person” yang biasanya memiliki kelebihan dan dominan dalam kelompok atau sub-kelompok dimana ia tergabung.

Di samping kegunaan untuk manjaga keutuhan tim, maka dengan metode sosiometri juga dapat diketahui siapa di antara anggota tim yang kurang disenangi anggota tim lainnya. Hal ini juga perlu mendapat perhatian agar anggota tersebut tidak terisolasi dari lingkungan kehidupan kelompok.

Dengan selalu memperhatikan tata-hubungan sosial yang terjadi dalam tim, maka keharmonisan tim dapat selalu dipelihara dan kemungkinan terjadinya hubungan yang kurang harmonis dapat segera ditanggulangi. Hal ini penting sekali dalam upaya membina tim, karena kuat atau lemahnya tim tidak hanya tergantung pada kemampuan satu atau dua orang saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan gabungan dari seluruh anggota tim.

Kuatnya rasa kesatuan tim atau “sentiment ingroup” akan besar sekali dampaknya pada motivasi dan sikap positif anggota untuk membela dan menjunjung tinggi timnya atau groupnya. Dengan kuatnya rasa kesatuan tim akan timbul rasa memiliki dan rasa tanggumg jawab pada kelompok (belongingness and responsibility).

§ Pertimbangan Khusus dalam Persiapan Tim

Ada sejumlah faktor khusus yang harus dipertimbangkan pelatih dalam menyiapkan timnya untuk menghadapi pertandingan. Perhatian pada faktor-faktor tersebut dapat membuat perbedaan antara kalah dan menangnya suatu pertandingan olahraga. Persiapan adalah salah satu strategi yanglebih efektif untuk menghindarkan olahragawan dari stres. Hal ini sangat penting mengetahui lebih dahulu peristiwa-peristiwa yang mengandung masalah penting untuk mempersiapkan keterampilan.

Ø Petandingan sebelum musim pertandingan

Kegiatan ini dirancang untuk menyiapkan tim dengan membentuk rasa percaya diri pada kemampuan tim, strategi dan pelaksanaannya. Seringkali, latihan sebelum masa bertanding tidak berlangsung dengan mulus. Pelaksanaanya mungkin berantakan, strategi mungkin tidak berhasil dengan baik, olahragawan (dan pelatih) mungkin mulai berpikir ulang. Tanggapan ini harus di antisipasi. Menjelang latihan olahragawan harus di ingatkan untuk berkonsentrasi dan melakukan yang terbaik, namun harus sadar bahwa hal ini barulah awal dari masa bertanding.

Ø Memandang rendah dan menilai terlalu tinggi

Pandangan merendahkan dapat menbawa pada penampilan tim yang tidak efektif karena kekurangsiapan. Sedangkan penilaian yang terlalu tinggi menyebabkan penampilan buruk kkarena pelatih kehilangan rasa percaya diri dan memutuskan mengubah strategi yang telah dijalankan timnya dengan baik. Strategi baru mungkin dirancang debgan cermat namun tidak efektif sebab pelaksanannya buruk. Banyak pelatih seperti menampar dirinya sendiri pada saat mereka membuat perubahan khusus di menit-menit terakhir untuk lawan tertentu.

Gerungan, A. 1980. Psychologi Sosial. Jakarta: P.T. Eresco.

Gunarsa, Singgih, dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK-GM.

Pate, Russel, dkk. 1964. Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Sears, David O, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Setyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Copyright.

Walgito, Bimo. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.

Tidak ada komentar: